Rating

Sunday, May 28, 2017

Mafhum Mukholafa



“MAFHUM MUKHOLAFA “


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada guru pembimbing dan teman-teman  yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa dalam  penulisan  makalah  ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan  kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin.

Penyusun


DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................. i
Daftar Isi ...................................................................................................................         ii

BAB      I      PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C.  Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB      II    PEMBAHASAN
A.  Pengertian Mafhum Mukholafah ............................................................ 3
B.  Macam-macam Mafhum Mukholafah..................................................... 4
C.  Beberapa contoh bagi macam-macam pemahaman terhadap
 nash syara dan teks undang-undang positif......................................... 14

BAB      III   KESIMPULAN ........................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA
  





BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ushul fiqh berasal dari kata ushul dan fiqh, fiqh berarti faham. Pemahaman seseorang terhadap suatu hukum pasti berbeda-beda, perbedaan tersebur diakibatkan pada: pertama subjek, salah satunya pada budaya dan lingkungan sekitar. Kedua pada metodologi atau sudut pandang, subyak melihat sudut pandang yang berbeda sehingga perbedaan pemahaman terhadap suatu hukum. Ketiga pemahaman obyek yang beda.
Ilmu ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad ke-dua hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah, ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW. memberikan fatwa dan keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, berupa Al-Qur’an, dan berdasarkan sunnah yang diilhamkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk beristimbath dan berijtihad. Para sahabatnya memberikan fatwa dan menetapkan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka fahami berdasarkan kemampuan  bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai kaidah kebahasaan yang dapat membimbing mereka untuk memahami nash. Mereka mengistimbathkan terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan mereka dalam persyari’atan hukum islam yang tertanam di dalam jiwa mereka semenjak mereka berteman dengan Rasulullah. Di samping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an dan datangnya hadits-hadits, serta mereka memahami betul terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar persyari’atan hukum.
Akan tetapi ketika kemenangan islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab pun sudah bercampur dengan bangsa-bangsa lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan kedalam bahasa Arab telah masuk sejumlah kata dan uslub yang bukan bahaa Arab, maka kemampuan kebahasaan itu tidak lagi tetap dalam kondisi yang murni, dan kesamaran- kesamaran  dan kemungkinan-kemungkinan lainnya banyak terjadi dalam memahami nash, maka kebutuhan sangat mendesak untuk membuat berbagai  ketentuan dan kaidah kebahasaan yang bisa digunakan untuk memahami nash sebagaimana orang Arab, yang mana nash datang dengan bahasa mereka, memahaminya, sebagaimana pula kebutuhan menuntut untuk membuat kaidah nahwu yang bisa dipergunakan untuk mengucapkan bahasa secara benar.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa  pengertian mafhum mukholafah ?
2.         Apa saja macam-macam mafhum mukholafah?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian mafhum mukholafah
2.      Untuk mengetahui macam-macam mafhum mukholafah




















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Mafhum Mukholafah
Pengertian global kaidah ini, ialah bahwa nash syara itu tidak mempunyai dalalah atas hukum yang terkandung dalam pengertian yang berbeda dengan bunyi nash. Karena hukum itu bukanlah madlul (makna) nash dengan jalan di antara jalan dalalah yang empat. Bahkan hukum pengertian yang berbeda dan didiamkan itu bisa diketahui dengan dalil lain apa saja dari dalil- dalil syara, yang di antaranya ialah kebolehan yang bersifat asal (Al-Ibahah al-Ashliyyah).
Jadi firman Allah SWT yang berbunyi:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
Artinya: Katakanlah: "Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau maka­nan itu bangkai atau darah yang mengalir. (Q.S. 6, al- An'am: 145).
Bunyi (manthuq)-nya adalah mengharamkan darah yang di­alirkan. Sedangkan menghalalkan darah yang tidak dialirkan adalah pengertian yang berbeda dengan bunyinya, dan tidak ada dalalah bagi ayat ini atas makna itu. Bahkan makna itu bisa diketahui dengan dalil Al-Ibahah. al-Ashliyyah, atau dengan dalil syara apa saja. Seperti sabda Rasulullah SAW:
"Dihalalkan bagi kamu dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu ialah ikan (tawar atau laut), belalang, dan dua darah itu ialah hati dan limpa". Juga firman Allah SWT:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Artinya: Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki". (Q.S. 4, an-Nisa: 25).
Bunyi (manthuq)-nya, ialah bahwa orang yang tidak mampu mengawini wanita-wanita merdeka, dia dibolehkan mengawini wanita-wanita amat (budak) yang mukmin. Sedangkan orang yang mampu mengawini wanita-wanita merdeka, maka tidak ada dalalah bagi ayat ini atas hukumnya. Begitu juga mengawini wanita amat yang tidak mukmin, juga tidak ada dalalah bagi ayat ini atas hukumnya.

B.       Macam-macam Mafhum Mukholafah
Adapun uraian terinci kaidah ini memerlukan penjelasan Mengenai macam-macam mafhum mukholafah, karena mafhum mukholafah ini bermacam-macam, menurut batasan yang ter­dapat di dalam bunyi nash, yaitu terbagi kepada 5 (lima) macam:
1.      Mafhum dengan sifat (mafhum al Washf) seperti firman Allah SWT dalam menjelaskan wanita-wanita yang haram dikawini yang berbunyi:           . '
Artinya: .... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) .... (Q.S. 4, an-Nisa: 23).
Mafhum mukhalafahnya: para istri anak-anak yang bukan dari tulang rusuk, seperti anak seorang anak (ibnu al ibn) karena sesusuan. Dan seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya: Pada binatang yang digembalakan itu ada zakatnya. Mafhum mukholafahnya adalah binatang yang diberi makan yang tidak digembalakan.
Dan pula seperti sabdanya:
Artinya: Barangsiapa menjual korma yang dikawinkan, maka buahnya adalah milik si penjual.
2.      Mafhum dengan maxim (mallium al-ghoyah), seperti firman Allah SWT:
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi ba­ginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S.2 al-Baqoroh: 230).
Mafhum mukhalafahnya, yaitu apabila seorang istri yang kejatuhan talak tiga kali, bolehlah kawin dengan seorang laki- laki yang bukan suami yang telah menjatuhkan talak kepadanya itu. Dan firman-Nya lagi:
Artinya: ... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Q.S. 2, al- Baqoroh: 187).
Mafhum mukhalafahnya, yaitu apabila telah terang benang putih itu dari benang hitam, yaitu fajar.
3.      Mafhum dengan syarat (mafhum asy-syarath), seperti firman Allah SWT:
Artinya: ... Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka.berikanlah kepada mereka nafkahnya... . (Q.S. 65, ath-Thalaq: 6).
Mafhum mukhalafahnya, yaitu jika kamu sekalian bukan wanita-wanita yang sedang hamil. Seperti firman-Nya:
Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedang lagi baik akibatnya. (Q.S. 4, an-Nisa: 4).
Mafhum mukhalafahnya, yaitu apabila keadaan istri tidak dengan senang hati menyerahkan sebagian dari mas kawinnya.
4.      Mafhum dengan bilangan (mafhum al-'Adad), seperti firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat empat:
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Mafhum mukhalafahnya, yaitu kurang atau lebih dari delapan puluh kali dera. Dan firman-Nya dalam surat al-Baqoroh ayat 196:
Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban) atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari. Mafhum mukhalafahnya, yaitu kurang atau lebih dari tiga hari.
5.      Mafhum dengan gelar (mafhumal-laqob), seperti firman Allah SWT:
                            Muhammad, adalah utusan Allah". Mafhum mukhalafahnya, adalah selain Mu­hammad. Dan seperti sabda Rasulullah SAW:    "gandum adalah termasuk jenis yang harus dikeluarkan zakatnya". Mafhum mukhalafahnya, yaitu selain gandum (bur). Juga seperti firman Allah SWT dalam surat an- Nisa: 23:
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu".
Mafhum mukhalafahnya, yaitu selain para ibu.
Para ulama ushul (al-ushuliyyun) sepakat untuk tidak menggunakan hujjah nash menurut mafhum mukhalafahnya da­lam satu contoh, dan menggunakan hujjah dengan mafhum mukhalafah dalam contoh lain. Mereka berbeda pendapat dalam menggunakan hujjah dengan mafhum mukhalafah dalam suatu contoh
1.      Apa yang telah disepakati oleh mereka yang berupa tidak menggunakan hujjah nash menurut mafhum mukhalafahnya disebut mafhum dengan gelar (mafhum al-lagob). Yang dimaksud dengan gelar (laqob) yaitu lafal jamid (kata yang - tegas) terdapat di dalam nash berapa isim dan nama ('alam) atas zat yang menjadi sandaran hukum yang tersebut di dalam nash itu. Seperti di dalam hadis:                       ,     lafal (               )  , adalah nama biji terkenal yang di dalamnya kena tuntutan zakat Dan dalam hadis (                            ) "Kambing itu harus dikeluarkan zakatnya", lafal,"                adalah  (kambing) adalah  nama binatang terkenal yang padanya kena tun­tutan zakat. Baik menurut bahasa, syara atau kebiasaan ('urf). Tidak bisa difahami bahwa menyebutkan lafal (                ) adalah berarti pengecualian biji-biji lainnya. Tidak dapat difahami bahwa menyebutkan lafal (             ) adalah berarti mengecualikan binatang-binatang gembala lainnya. Tidak dapat difahami bahwa dalam keharusan mengeluarkan zakat pada gandum adalah arti tidak ada zakat bagi sya'ier, dzurroh (jenis gandum), dan biji-biji lainnya. Tidak pula dapat difahami bahwa keharusan zakat pada kambing adalah berarti tidak ada zakat bagi unta, sapi, dan lain-lainnya. Karena itu ulama ushul sepakat untuk tidak menggunakan hujjah dengan mafhum mukhalafah berdasarkan gelar (laqob), karena dengan menyebutkan hal itu, tidak dimaksudkan ada pembatasan pengkhususan dan pengecualian atas yang lainnya.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara nash-nash syafiyah (dan teks undang-undang hukum positif, juga akad (contract) manusia, pengelolaannya, dan semua ucapannya. Jadi kata-kata (                           ) "Muhammad adalah utusan Al­lah", tidak dapat difahami bahwa selain Muhammad berarti adalah bukan utusan Allah. Utang seorang yang meninggal dunia adalah dibayarkan dari harta pusakanya.
Tidak berarti dapat difahami bahwa selain utangnya, seperti biaya pemeliharaan jenazahnya, dan melaksanakan wasiatnya, tidak di­bayarkan dari harta pusakanya. Juai-beli yang dapat me­mindahkan pemilikan, tidak dapat difahami bahwa selain jual- beli adalah tidak dapat memindahkan pemilikan. Jual-beli hak-hak di dalam peninggalan orang dalam harta peninggalan seseorang menurut batasan, kalau masih hidup sekalipun dengan kerelaannya, tidaklah batal. Karena itu berkata Imam Asy-Syaukani: "Orang yang berpendapat dengan mafhum mukholafah berdasarkan gelar (laqob) adalah tidak me­nemukan argumentasi (hujjah), baik dari segi bahasa, akal, dan syara". Dalam bahasa Arab juga dikenal bahwa orang yang berkata: "Saya melihat Zaid", dari kata-kata itu, tidak dapat difahami bahwa berarti dia tidak melihat selain Zaid. Akan tetapi bila ada petunjuk (Qarinah) yang menunjukkan penga­malan mafhum mukhalafah dalam bagian secara khusus, maka* hal itu adalah semata-mata karena ada Qarinah.
2.      Apa yang oleh mereka telah disepakati untuk menggunakan hujjah dengan mafhum mukhalafah di dalamnya, adalah mafhum dengan sifat, mafhum dengan syarat, mafhum dengan bilkangan atau mafhum dengan maxim pada selain nash-nash syar'iyah, yakni pada contract.manusia, pengelolaan mereka, ucapan mereka, ungkapan para pengarang, dan istilah para sarjana hukum. Jadi ucapan si pewakaf yang berbunyi: "Saya serahkan seperempat wakaf saya, setelah saya meninggal nanti, untuk para kerabat saya yang fakir". Pemahamannya adalah ketetapan memperoleh hak bagi para kerabatnya yang fakir. Sedangkan mafhum mukhalafahnya adalah meniadakan penerimaan hak bagi para kerabatnya yang tidak fakir. Teks itulah yang menjadi hujjah atas dua hukum tersebut. Sedangkan ucapan si pewakaf yang berbunyi ("Saya serahkan seperdelapan dari seperempat wakaf saya, setelah saya me­ninggal nanti, kepada janda saya apabila belum kawin), pema­hamannya adalah ketetapan memperoleh hak bagi jandanya apabila belum kawin. Dan mafhum mukhalafahnya adalah meniadakan penerimaan hak bagi dia apabila dia telah kawin.Teksnya itulah yang menjadi hujjah atas dua hukum tersebut.
Demikian pula setiap ungkapan dari siapa saja yang melakukan akad, pengelolaan, karya tulis, atau yang meng­ucapkan apa saja. Apabila ungkapan dibatasi'dengan sifat atau syarat, atau dibatasi dengan bilangan atau tujuan maksimal maka ungkapan itu menjadi hujjah atas ketetapan hukum yang datang dengan ungkapan itu, ketika ditemukan sesuatu yang dijadikan batasan dengan ungkapan tersebut, dan menjadi hujjah atas ketiadaan hukum tersebut ketika tidak ditemukan sesuatu yang dijadikan batasan oleh ungkapan itu. Karena kebiasaan dan istilah manusia dalam pemahaman dan mem­buat ungkapan itu, adalah seperti itu. Seandainya tidak bisa difahami ketiadaan dan ketetapan hukum itu, maka pem­batasan itu adalah sia-sia, kecuali apabila ada petunjuk (qori- nah) yang menunjukkan bahwa batasan itu bukan untuk mengkhususkan.
3.      Adapun contoh yang ulama Ushul berbeda pendapat dalam hal menjadikan hujjah mafhum mukhalafah dalam contoh itu, ialah mafhum mukhalafah dalam sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan dalam nash-nash syartvah secara khusus. Maka sebagian besar ulama Ushul berpendapat bahwa nash syar"i yang menunjukkan atas, hukum mengenai suatu kejadian, apabila nash itu diikat dengan sifat atau disyaratkan sebuah syarat, atau dibatasi dengan maksimalitas, atau bila­ngan, maka nash itu bisa menjadi hujah atas ketetapan hukum­nya suatu kejadian yang datang dalam nash tersebut dengan sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan yang dise­butkan dalam nash tersebut. Bisa juga menjadi hujjah atas ketetapan penentang hukumnya dalam suatu kejadian yang datang dalam nash tersebut apabila kejadian itu berbeda de­ngan sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan yang disebutkan dalam nash itu. Hukum yang pertama itu disebut bunyi nash (manthug), dan hukum yang kedua disebut penger­tian sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jadi mengharamkan darah yang dialirkan, dan menghalalkan darah yang tidak dialirkan, dan masing-masing adalah makna (madlul), firman Allah dalam surat al-An'am ayat 145
(                                               ) Sedangkan ulama Ushul Hanafiyah berpendapat bahwa nash Syar'i yang menunjukkan atas hukum mengenai suatu kejadian, apabila nash itu diikat dengan sifat, atau disyaratkan kepadanya suatu syarat, atau dibatasi dengan maksimalitas, atau bilangan, maka nash itu tidak bisa menjadi hujjah kecuali atas hukum kejadian yang disebutkan dalam nash dengan sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan yang disebutkan dalam nash itu. Adapun kejadian yang tidak terdapat ikatan padanya, yang berupa sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan tersebut, maka tidak bisa menjadi hujjah atas hukum mengenai kejadian tersebut. Bahkan nash itu diam, tidak menjelaskan hukum kejadian itu. Maka dicari hukum kejadian itu dengan dalil apa saja dari dali-dalil syara, yang daripadanya (dapat disimpulkan) bahwa asal sesuatu itu adalah kebolehan
Sebagian besar para ulama itu, atas pendapatnya mengambil dalil dari beberapa dalil, di antaranya yang paling jelas ada dua:
1.      Yang mudah difahami dari uslub-uslub orang Arab, dan kebi­asaan mereka dalam menggunakan ungkapannya, yaitu bahwa mengikat hukum dengan sifat atau syarat, atau membatasinya dengan maksimalitas atau bilangan, adalah menunjukkan atas ketetapan hukum itu sekira ditemukan ikatannya, dan menunjukkan atas ketiadaan hukum sekira tidak ditemukan ikatan­nya. Jadi orang yang berkata: "Penangguhan orang kaya (da­lam membayar utang) adalah penganiayaan", difahami bahwa orang fakir tidak demikian. Orang berkata: "berikanlah kepada anakmu sebuah jam apabila dia lulus", difahami daripada ucapan itu, "Jangan memberinya apabila dia tidak lulus". Karena itu ketika Umar ra melihat bahwa para sahabat mengqoshor shalat dalam perjalanan di saat aman dari bahaya (fitaah)-nya orang „kafir, beliau merasa heran dan bertanya kepada Rasulullah S AW, "Bagaimana kita ini kokmcng'qoshor shalat dalam keadaan aman?" Dijawab oleh Rasul: "Itu adalah sedekah Allah kepada kamu, terimalah sedekah itu". Sumber keheranan ini yaitu bahwa Umar memahami firman Allah yang berbunyi:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka ti­daklah mengapa kamu mengqoshor sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang kafir. (Q.S. 4, an-Nisa-  101).
Yakni bahwa mereka itu jika tidak takut fitnah (bahaya), maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ini maihum mukhalafahnya. Sedangkan jawaban Rasulullah tidak menyalahkan pemaha­man Umar, akan tetapi menunjukkan, bahwa Allah SWT memberi keluasan kepada mereka, dan juga memberikan ke­ringanan kepada mereka dalam keadaan aman.
2.      Ikatan-ikatan yang datang di dalam nash-nash itu harus mempunyai hikmah; karena pembuat hukum (syari') tidak memberi ikatan dengan sifat, atau syarat, atau maksimalitas, atau bilangan, dengan sia-sia. Yang paling nyata dapat difahami, yaitu bahwa hikmah itu mengkhususkan hukum dengan nash-nash yang ada ikatan di dalamnya. Sedangkan pengkhususan ini bisa berarti meniadakan hukum dari nash yang di dalamnya tidak ada ikatan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara nash syara dan lainnya yang berupa ungkapan manusia, kecuali apabila ada qorinah yang menun­jukkan bahwa sifat atau syarat atau lainnya bukan untuk ikatan, tetapi untuk tujuan lain, seperti memuliakan, memuji, memaki, atau memihak, yang berlaku secara umum. Maka mafhum mukhalafah. nash atau ungkapan itu tidak bisa dijadikan hujjah.
Para ulama Ushul Hanafiyah dalam mazhabnya menggunakan beberapa dalil yang di antaranya ada dua yang paling jelas, yaitu:
1.         Dalam uslub bahasa Arab tidak berlaku umum bahwa memberikan ikatan hukum dengan sifat atau syarat, atau membata­sinya dengan maksimalitas atau bilangan, menunjukkan 1 ketetapan hukum ketika ditemukan ikatan itu, atau menunjuk­kan ketiadaan ketetapan hukum ketika tidak ditemukan ikatan tersebut. Banyak sekali ungkapan yang datang dengan diberi ikatan, sedangkan pendengar ragu-ragu memahami hukum sesuatu yang tidak terdapat ikatan di dalamnya. Kemudian si pembicara ditanya tentang hal itu dan dia tidak mengingkari pertanyaan tersebut. Jadi orang yang berkata: "Apabila dia minta kepadamu di waktu pagi, maka penuhilah kebutuhannya itu", dia tidak mengingkari pendengarnya jika si pendengar berusaha memahami tentang orang yang me-minta kepadanya di waktu sore, Apabila dalalah atas ketiadaan hukum ketika tidak ditemukan ikatan itu tidak bisa dipastikan, maka nash syara tidak bisa menjadi hujjah atasnya, karena nash-nash syara itu harus memerlukan ketelitian dalam menggunakan­nya sebagai hujjah. Juga tidak bisa menjadi hujjah lantaran hanya melulu kemungkinan.
2.         Kebanyakan nash-nash syara yang menunjukkan atas hukum, tetapi nash-nash itu diikat dengan qayid, (batasan), adalah tidak berarti hukumnya lenyap ketika ikatan itu tiada. Bahkan hukum nash itu tetap bagi peristiwa yang di dalamnya ada ataupun tidak ada ikatan. Jadi shalat dalam bepergian itu bisa diqoshor jika orang-orang yang melakukan shalat itu takut atau tidak takut akan gangguan (fitnah) orang-orang kafir, sekalipun nash shalat qoshor memberikan syarat seperti ini:
Artinya: Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (Q S 4 n„ Nisa: 101).           '
Jadi anak tiri itu haram atas suami ibunya. Baik anak tiri itu dalam asuhannya atau tidak, sekalipun nash memberikan ikatan keharaman dengan sifat ini: (                             )   = "Anak-anak istri yang dalam pemeliharaanmu". (Q S 4 an Nisa: 23).
Maka berhati-hati dalam memahami nash syara itu meng­haruskan agar nash itu tidak dijadikan hujjah untuk me­niadakan hukum ketika tidak ada ikatan. Banyak nash-nash, setelah menyebutkan hukum yang diberi ikatan, kemudian menash atas mafhum mukhalafahnya, seperti firman Allah SWT:
مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya: ... dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri itu (dan sudah kamu cerai­kan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (Q.S. 4, an-Nisa: 23).
dan firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campuri- lah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepa­damu. (Q.S. 2, al-Baqoroh: 222).
Ini menunjukkan bahwa hukum tidak bisa difahami dari nash terdahulu (pertama), melainkan dari hukum yang disebutkan oleh nash kedua.
Pengaruh perbedaan ini tampak jelas seperti dalam firman Allah SWT, tentang memberi harta warisan kepada anak-anak perempuan yang ditinggal mati bapaknya:
Artinya: ...dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. (, an-Nisa: 11).
Dan sabda Rasulullah S AW kepada sanak saudara Saad bin Ar-Rabi:      , '

Artinya: Berikanlah kepada dua anak perempuan Saad, 2/3 (dua pertiga), dan kepada istrinya 1/8 (seperdelapan), sisanya untuk kamu.
Menurut pendapat Jumhur, terdapat kontradiksi antara mafhum mukhalafah ayat, yaitu bahwa anak perempuan satu atau dua, tidak menerima warisan 2/3 (dua pertiga), dan bunyi hadis yang menentukan warisan dua anak perempuan 2/3 (dua pertiga). Dan yang diutamakan adalah bunyi hadis. Menurut mazhab ulama Ushul Hanafiyah: "Tidak ada kontradiksi". Karena hadis ini menjelaskan hukum suatu kejadian yang belum disebutkan hukumnya dalam ayat tentang memberikan warisan kepada anak-anak perempuan. Contoh lain seperti dalam firman Allah SWT tentang mengqoshor shalat dalam bepergian:                                                "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir". (Q.S. 4, an- Nisa: 101).
Dan perbuatan Rasulullah SAW mengqoshor shalat di dalam bepergian ketika aman dan tidak ada rasa takut terhadap gangguan orang-orang kafir. Maka menurut mazhab jumhur: Terdapat kontradiksi antara mafhum mukhalafah ayat dan bunyi hadis. Sedangkan menurut mazhab ulama Ushul Hana­fiyah: Tidak ada kontradiksi
Yang dapat kami simpulkan dari persamaan dan perban­dingan antara dalil-dalil al-Quran dan Hadis itu, yaitu bahwa nash syara itu bisa dijadikan sebagai hujjah atas mafhum mukhalafah bagi sifat atau syarat atau maksimalitas atau bilangan. Tetapi setelah membahas dan memusatkan perhatian secara serius dan mendalam, ternyata ikatan yang datang pada nash itu hanyalah untuk mengkhususkan, dan dengan kekhususannya itu berarti memelihara dari yang lainnya. Dan nash itu-tidak datang untuk hikmah yang lain. Dan pemahaman ini tidak bertentangan dengan bunyi nash lain.
Adapun apabila ada qorinah bahwa ikatan itu tidak untuk mengkhususkan dan tidak untuk memelihara dari yang lainnya, bahkan datang dengan berlaku menurut umum, seperti:
atau semata-mata untuk memuliakan suatu hal, seperti sabda Rasulullah SAW:


Artinya: Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir jika berkabung lebih dari tiga hari kecuali atas suaminya.
Atau untuk hikmah lain apa saja yang ditunjukkan oleh redaksi nash atau hikmah pembentukan hukum, maka nash itu tidak bisa menjadi hujjah atas mafhum mukhalafahnya.
Sikap berhati-hati ini yang harus dipelihara di dalam riash- nash syara, juga harus dipelihara di dalam teks undang-undang buatan (positif). Karena itu, pengadilan yang membatalkan mene­tapkan pada 30 Mei 1935 M, bahwa sarana-sarana menetapkan yang datang dalam Pasal 229 dari undang-undang sipil tidak datang untuk meringkas, maka ia tidak bisa menjadi hujjah bahwa- selain sarana-sarana tersebut bukan sebagai sarana untuk menetapkan. Atas dasar ini, apabila sebuah kertas proses verbal diajukan di dalam penyelesaian persoalan dan diterima oleh acara dalam majelis, maka hal ini sudah cukup untuk menetapkan cronologi kertas yang diajukan dalam majelis.

C.      Beberapa contoh bagi macam-macam pemahaman terhadap nash syara dan teks undang-undang positif.
Pemahaman dengan sifat: Firman Allah SWT:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ
Artinya:  Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang di­serahkan kepada keluarganya (si terbunuh) itu... ." (Q.S. 4, an-Nisa: 92).
Dan pasal 466 Q.M.: "Apabila seorang menjual sesuatu barang yang tertentu zatnya, yang tidak dimiliki olehnya, maka pembeli boleh menuntut membatalkan jual-beli itu".


Pemahaman dengan syarat: Firman Allah SWT:
Artinya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu se­bagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. 4, an-Nisa: 4).
Dan pasal 468 Q.M.: "Apabila telah ditetapkan bagi pembeli pembatalan jual beli, padahal dia tidak mengerti bahwa sesuatu yang dijual itu tidak dimiliki oleh penjual, maka pembeli boleh menuntut ganti, sekalipun penjual bermaksud baik".
Pemahaman dengan bilangan: Ketentuan hukum:
"Hak membatalkan kontrak itu gugur jika yang punya hak itu tidak memegangi hak itu selama masa tiga tahun". Dan pasal 76 dari undang-undang yang dibatalkan: "Masa keanggotaan Naib (DPR) adalah lima tahun".
Pemahaman dengan maksimalitas: Firman Allah SWT:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S, 2, al- Baqoroh: 230).
Dalam banyak undang-undang terdapat teks seperti ini: "undang- undang ini diberlakukan sampai keluar undang-undang yang- menggantinya".









BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami mukhalafah dan mafhum sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.  
    Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam memahami mukhalafah dan mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.  

B.       Saran
Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan. Kami tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya sendiri. Dan tim penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak hal yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk memotifasi makalah kami selanjutnya. Dan kami tim penulis minta ma’af apabila terdapat kesalahan kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan kurang lebihnya minta ma’af.