KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa saya ucapkan kepada guru pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
penulis angat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan teman-teman. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................................. i
Daftar Isi ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan
..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mafhum Mukholafah ............................................................ 3
B. Macam-macam
Mafhum Mukholafah..................................................... 4
C. Beberapa
contoh bagi macam-macam pemahaman terhadap
nash syara dan teks undang-undang positif......................................... 14
BAB III KESIMPULAN
........................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ushul fiqh
berasal dari kata ushul dan fiqh, fiqh berarti faham. Pemahaman seseorang
terhadap suatu hukum pasti berbeda-beda, perbedaan tersebur diakibatkan pada: pertama
subjek, salah satunya pada budaya dan lingkungan sekitar. Kedua pada
metodologi atau sudut pandang, subyak melihat sudut pandang yang berbeda
sehingga perbedaan pemahaman terhadap suatu hukum. Ketiga pemahaman
obyek yang beda.
Ilmu ushul
fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad ke-dua hijriyah, karena pada abad
pertama hijriyah, ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW.
memberikan fatwa dan keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, berupa Al-Qur’an, dan berdasarkan sunnah yang
diilhamkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa
membutuhkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk
beristimbath dan berijtihad. Para sahabatnya memberikan fatwa dan menetapkan
putusan hukum berdasarkan nash yang mereka fahami berdasarkan kemampuan
bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai kaidah kebahasaan
yang dapat membimbing mereka untuk memahami nash. Mereka mengistimbathkan
terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan mereka dalam
persyari’atan hukum islam yang tertanam di dalam jiwa mereka semenjak mereka
berteman dengan Rasulullah. Di samping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab
turunnya ayat Al-Qur’an dan datangnya hadits-hadits, serta mereka memahami
betul terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar persyari’atan hukum.
Akan tetapi
ketika kemenangan islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab pun sudah
bercampur dengan bangsa-bangsa lain, mereka saling berbicara dan berhubungan
melalui tulisan, dan kedalam bahasa Arab telah masuk sejumlah kata dan uslub
yang bukan bahaa Arab, maka kemampuan kebahasaan itu tidak lagi tetap dalam
kondisi yang murni, dan kesamaran- kesamaran dan kemungkinan-kemungkinan
lainnya banyak terjadi dalam memahami nash, maka kebutuhan sangat mendesak
untuk membuat berbagai ketentuan dan kaidah kebahasaan yang bisa digunakan
untuk memahami nash sebagaimana orang Arab, yang mana nash datang dengan bahasa
mereka, memahaminya, sebagaimana pula kebutuhan menuntut untuk membuat kaidah
nahwu yang bisa dipergunakan untuk mengucapkan bahasa secara benar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian mafhum mukholafah ?
2.
Apa
saja macam-macam mafhum mukholafah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian mafhum mukholafah
2.
Untuk
mengetahui macam-macam mafhum mukholafah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mafhum Mukholafah
Pengertian global
kaidah ini, ialah bahwa nash syara itu tidak mempunyai dalalah atas hukum yang
terkandung dalam pengertian yang berbeda dengan bunyi nash. Karena hukum itu
bukanlah madlul (makna) nash dengan jalan di antara jalan dalalah yang empat.
Bahkan hukum pengertian yang berbeda dan didiamkan itu bisa diketahui dengan
dalil lain apa saja dari dalil- dalil syara, yang di antaranya ialah kebolehan
yang bersifat asal (Al-Ibahah al-Ashliyyah).
Jadi firman
Allah SWT yang berbunyi:
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
Artinya: Katakanlah:
"Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai atau darah yang mengalir. (Q.S. 6, al- An'am: 145).
Bunyi
(manthuq)-nya adalah mengharamkan darah yang dialirkan. Sedangkan menghalalkan
darah yang tidak dialirkan adalah pengertian yang berbeda dengan bunyinya, dan
tidak ada dalalah bagi ayat ini atas makna itu. Bahkan makna itu bisa diketahui
dengan dalil Al-Ibahah. al-Ashliyyah, atau dengan dalil syara apa saja. Seperti
sabda Rasulullah SAW:

"Dihalalkan bagi kamu dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai
itu ialah ikan (tawar atau laut), belalang, dan dua darah itu ialah hati dan
limpa". Juga firman Allah SWT:
وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Artinya: Dan
barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki". (Q.S. 4, an-Nisa: 25).
Bunyi
(manthuq)-nya, ialah bahwa orang yang tidak mampu mengawini wanita-wanita merdeka,
dia dibolehkan mengawini wanita-wanita amat (budak) yang mukmin. Sedangkan
orang yang mampu mengawini wanita-wanita merdeka, maka tidak ada dalalah bagi
ayat ini atas hukumnya. Begitu juga mengawini wanita amat yang tidak mukmin,
juga tidak ada dalalah bagi ayat ini atas hukumnya.
B.
Macam-macam
Mafhum Mukholafah
Adapun uraian
terinci kaidah ini memerlukan penjelasan Mengenai macam-macam mafhum
mukholafah, karena mafhum mukholafah ini bermacam-macam, menurut batasan yang
terdapat di dalam bunyi nash, yaitu terbagi kepada 5 (lima) macam:
1.
Mafhum dengan sifat (mafhum al
Washf) seperti firman Allah SWT dalam menjelaskan wanita-wanita yang haram
dikawini yang berbunyi: . '

Artinya: ....
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) .... (Q.S. 4,
an-Nisa: 23).
Mafhum
mukhalafahnya: para istri anak-anak yang bukan dari tulang rusuk, seperti anak
seorang anak (ibnu al ibn) karena sesusuan. Dan seperti sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Pada
binatang yang digembalakan itu ada zakatnya. Mafhum mukholafahnya adalah
binatang yang diberi makan yang tidak digembalakan.
Dan pula
seperti sabdanya:

Artinya: Barangsiapa
menjual korma yang dikawinkan, maka buahnya adalah milik si penjual.
2.
Mafhum dengan maxim (mallium al-ghoyah),
seperti firman Allah SWT:

Artinya: Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S.2
al-Baqoroh: 230).
Mafhum
mukhalafahnya, yaitu apabila seorang istri yang kejatuhan talak tiga kali,
bolehlah kawin dengan seorang laki- laki yang bukan suami yang telah
menjatuhkan talak kepadanya itu. Dan firman-Nya lagi:

Artinya: ...
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. (Q.S. 2, al- Baqoroh: 187).
Mafhum
mukhalafahnya, yaitu apabila telah terang benang putih itu dari benang hitam,
yaitu fajar.
3.
Mafhum dengan syarat (mafhum
asy-syarath), seperti firman Allah SWT:

Artinya: ...
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka.berikanlah kepada mereka nafkahnya... . (Q.S. 65, ath-Thalaq: 6).
Mafhum
mukhalafahnya, yaitu jika kamu sekalian bukan wanita-wanita yang sedang hamil.
Seperti firman-Nya:

Artinya: Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedang lagi
baik akibatnya. (Q.S. 4, an-Nisa: 4).
Mafhum
mukhalafahnya, yaitu apabila keadaan istri tidak dengan senang hati menyerahkan
sebagian dari mas kawinnya.
4.
Mafhum dengan bilangan (mafhum
al-'Adad), seperti firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat empat:

Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Mafhum
mukhalafahnya, yaitu kurang atau lebih dari delapan puluh kali dera. Dan
firman-Nya dalam surat al-Baqoroh ayat 196:

Artinya: Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban) atau tidak mampu, maka wajib berpuasa
tiga hari. Mafhum mukhalafahnya, yaitu kurang atau lebih dari tiga hari.
5.
Mafhum dengan gelar (mafhumal-laqob), seperti firman Allah SWT:

Muhammad, adalah
utusan Allah". Mafhum mukhalafahnya, adalah selain Muhammad. Dan seperti
sabda Rasulullah SAW: "gandum adalah termasuk jenis yang harus
dikeluarkan zakatnya". Mafhum mukhalafahnya, yaitu selain gandum (bur).
Juga seperti firman Allah SWT dalam surat an- Nisa: 23: 

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu".
Mafhum mukhalafahnya, yaitu selain para ibu.
Para ulama
ushul (al-ushuliyyun) sepakat untuk tidak menggunakan hujjah nash menurut
mafhum mukhalafahnya dalam satu contoh, dan menggunakan hujjah dengan mafhum
mukhalafah dalam contoh lain. Mereka berbeda pendapat dalam menggunakan hujjah
dengan mafhum mukhalafah dalam suatu contoh
1. 

Apa yang telah disepakati oleh mereka yang berupa tidak menggunakan
hujjah nash menurut mafhum mukhalafahnya disebut mafhum dengan gelar (mafhum
al-lagob). Yang dimaksud dengan gelar (laqob) yaitu lafal jamid (kata yang -
tegas) terdapat di dalam nash berapa isim dan nama ('alam) atas zat yang
menjadi sandaran hukum yang tersebut di dalam nash itu. Seperti di dalam
hadis: , lafal ( ) , adalah nama biji terkenal yang di dalamnya
kena tuntutan zakat Dan dalam hadis (
) "Kambing itu
harus dikeluarkan zakatnya", lafal," adalah (kambing) adalah nama binatang terkenal yang padanya kena tuntutan
zakat. Baik menurut bahasa, syara atau kebiasaan ('urf). Tidak bisa difahami
bahwa menyebutkan lafal ( )
adalah berarti pengecualian biji-biji lainnya. Tidak dapat difahami bahwa
menyebutkan lafal ( ) adalah
berarti mengecualikan binatang-binatang gembala lainnya. Tidak dapat difahami
bahwa dalam keharusan mengeluarkan zakat pada gandum adalah arti tidak ada
zakat bagi sya'ier, dzurroh (jenis gandum), dan biji-biji lainnya. Tidak pula
dapat difahami bahwa keharusan zakat pada kambing adalah berarti tidak ada
zakat bagi unta, sapi, dan lain-lainnya. Karena itu ulama ushul sepakat untuk
tidak menggunakan hujjah dengan mafhum mukhalafah berdasarkan gelar (laqob),
karena dengan menyebutkan hal itu, tidak dimaksudkan ada pembatasan
pengkhususan dan pengecualian atas yang lainnya.








Tidak berarti dapat
difahami bahwa selain utangnya, seperti biaya pemeliharaan jenazahnya, dan
melaksanakan wasiatnya, tidak dibayarkan dari harta pusakanya. Juai-beli yang
dapat memindahkan pemilikan, tidak dapat difahami bahwa selain jual- beli
adalah tidak dapat memindahkan pemilikan. Jual-beli hak-hak di dalam
peninggalan orang dalam harta peninggalan seseorang menurut batasan, kalau
masih hidup sekalipun dengan kerelaannya, tidaklah batal. Karena itu berkata
Imam Asy-Syaukani: "Orang yang berpendapat dengan mafhum mukholafah
berdasarkan gelar (laqob) adalah tidak menemukan argumentasi (hujjah), baik
dari segi bahasa, akal, dan syara". Dalam bahasa Arab juga dikenal bahwa
orang yang berkata: "Saya melihat Zaid", dari kata-kata itu, tidak
dapat difahami bahwa berarti dia tidak melihat selain Zaid. Akan tetapi bila
ada petunjuk (Qarinah) yang menunjukkan pengamalan mafhum mukhalafah dalam
bagian secara khusus, maka* hal itu adalah semata-mata karena ada Qarinah.
2. Apa
yang oleh mereka telah disepakati untuk menggunakan hujjah dengan mafhum
mukhalafah di dalamnya, adalah mafhum dengan sifat, mafhum dengan syarat,
mafhum dengan bilkangan atau mafhum dengan maxim pada selain nash-nash
syar'iyah, yakni pada contract.manusia, pengelolaan mereka, ucapan mereka,
ungkapan para pengarang, dan istilah para sarjana hukum. Jadi ucapan si pewakaf
yang berbunyi: "Saya serahkan seperempat wakaf saya, setelah saya
meninggal nanti, untuk para kerabat saya yang fakir". Pemahamannya adalah
ketetapan memperoleh hak bagi para kerabatnya yang fakir. Sedangkan mafhum
mukhalafahnya adalah meniadakan penerimaan hak bagi para kerabatnya yang tidak
fakir. Teks itulah yang menjadi hujjah atas dua hukum tersebut. Sedangkan
ucapan si pewakaf yang berbunyi ("Saya serahkan seperdelapan dari
seperempat wakaf saya, setelah saya meninggal nanti, kepada janda saya apabila
belum kawin), pemahamannya adalah ketetapan memperoleh hak bagi jandanya
apabila belum kawin. Dan mafhum mukhalafahnya adalah meniadakan penerimaan hak
bagi dia apabila dia telah kawin.Teksnya itulah yang menjadi hujjah atas dua
hukum tersebut.
Demikian pula
setiap ungkapan dari siapa saja yang melakukan akad, pengelolaan, karya tulis,
atau yang mengucapkan apa saja. Apabila ungkapan dibatasi'dengan sifat atau
syarat, atau dibatasi dengan bilangan atau tujuan maksimal maka ungkapan itu
menjadi hujjah atas ketetapan hukum yang datang dengan ungkapan itu, ketika
ditemukan sesuatu yang dijadikan batasan dengan ungkapan tersebut, dan menjadi
hujjah atas ketiadaan hukum tersebut ketika tidak ditemukan sesuatu yang
dijadikan batasan oleh ungkapan itu. Karena kebiasaan dan istilah manusia dalam
pemahaman dan membuat ungkapan itu, adalah seperti itu. Seandainya tidak bisa
difahami ketiadaan dan ketetapan hukum itu, maka pembatasan itu adalah
sia-sia, kecuali apabila ada petunjuk (qori- nah) yang menunjukkan bahwa
batasan itu bukan untuk mengkhususkan.
3. Adapun
contoh yang ulama Ushul berbeda pendapat dalam hal menjadikan hujjah mafhum
mukhalafah dalam contoh itu, ialah mafhum mukhalafah dalam sifat atau syarat
atau maksimalitas, atau bilangan dalam nash-nash syartvah secara khusus. Maka sebagian
besar ulama Ushul berpendapat bahwa nash syar"i yang menunjukkan atas,
hukum mengenai suatu kejadian, apabila nash itu diikat dengan sifat atau
disyaratkan sebuah syarat, atau dibatasi dengan maksimalitas, atau bilangan,
maka nash itu bisa menjadi hujah atas ketetapan hukumnya suatu kejadian yang
datang dalam nash tersebut dengan sifat atau syarat atau maksimalitas, atau
bilangan yang disebutkan dalam nash tersebut. Bisa juga menjadi hujjah atas
ketetapan penentang hukumnya dalam suatu kejadian yang datang dalam nash
tersebut apabila kejadian itu berbeda dengan sifat atau syarat atau
maksimalitas, atau bilangan yang disebutkan dalam nash itu. Hukum yang pertama
itu disebut bunyi nash (manthug), dan hukum yang kedua disebut pengertian
sebaliknya (mafhum mukhalafah). Jadi mengharamkan darah yang dialirkan, dan
menghalalkan darah yang tidak dialirkan, dan masing-masing adalah makna
(madlul), firman Allah dalam surat al-An'am ayat 145
( ) Sedangkan ulama
Ushul Hanafiyah berpendapat bahwa nash Syar'i yang menunjukkan atas hukum
mengenai suatu kejadian, apabila nash itu diikat dengan sifat, atau disyaratkan
kepadanya suatu syarat, atau dibatasi dengan maksimalitas, atau bilangan, maka
nash itu tidak bisa menjadi hujjah kecuali atas hukum kejadian yang disebutkan
dalam nash dengan sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan yang
disebutkan dalam nash itu. Adapun kejadian yang tidak terdapat ikatan padanya,
yang berupa sifat atau syarat atau maksimalitas, atau bilangan tersebut, maka
tidak bisa menjadi hujjah atas hukum mengenai kejadian tersebut. Bahkan nash
itu diam, tidak menjelaskan hukum kejadian itu. Maka dicari hukum kejadian itu
dengan dalil apa saja dari dali-dalil syara, yang daripadanya (dapat
disimpulkan) bahwa asal sesuatu itu adalah kebolehan


Sebagian besar
para ulama itu, atas pendapatnya mengambil dalil dari beberapa dalil, di
antaranya yang paling jelas ada dua:
1. Yang
mudah difahami dari uslub-uslub orang Arab, dan kebiasaan mereka dalam
menggunakan ungkapannya, yaitu bahwa mengikat hukum dengan sifat atau syarat,
atau membatasinya dengan maksimalitas atau bilangan, adalah menunjukkan atas
ketetapan hukum itu sekira ditemukan ikatannya, dan menunjukkan atas ketiadaan
hukum sekira tidak ditemukan ikatannya. Jadi orang yang berkata:
"Penangguhan orang kaya (dalam membayar utang) adalah penganiayaan",
difahami bahwa orang fakir tidak demikian. Orang berkata: "berikanlah
kepada anakmu sebuah jam apabila dia lulus", difahami daripada ucapan itu,
"Jangan memberinya apabila dia tidak lulus". Karena itu ketika Umar
ra melihat bahwa para sahabat mengqoshor shalat dalam perjalanan di saat aman
dari bahaya (fitaah)-nya orang „kafir, beliau merasa heran dan bertanya kepada
Rasulullah S AW, "Bagaimana kita ini kokmcng'qoshor shalat dalam keadaan
aman?" Dijawab oleh Rasul: "Itu adalah sedekah Allah kepada kamu,
terimalah sedekah itu". Sumber keheranan ini yaitu bahwa Umar memahami
firman Allah yang berbunyi:
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ
الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.
Artinya: Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqoshor
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang kafir. (Q.S. 4,
an-Nisa- 101).
Yakni bahwa
mereka itu jika tidak takut fitnah (bahaya), maka tidak boleh mengqoshor
shalat. Ini maihum mukhalafahnya. Sedangkan jawaban Rasulullah tidak
menyalahkan pemahaman Umar, akan tetapi menunjukkan, bahwa Allah SWT memberi
keluasan kepada mereka, dan juga memberikan keringanan kepada mereka dalam
keadaan aman.
2. Ikatan-ikatan
yang datang di dalam nash-nash itu harus mempunyai hikmah; karena pembuat hukum
(syari') tidak memberi ikatan dengan sifat, atau syarat, atau maksimalitas,
atau bilangan, dengan sia-sia. Yang paling nyata dapat difahami, yaitu bahwa
hikmah itu mengkhususkan hukum dengan nash-nash yang ada ikatan di dalamnya.
Sedangkan pengkhususan ini bisa berarti meniadakan hukum dari nash yang di
dalamnya tidak ada ikatan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara nash syara
dan lainnya yang berupa ungkapan manusia, kecuali apabila ada qorinah yang
menunjukkan bahwa sifat atau syarat atau lainnya bukan untuk ikatan, tetapi
untuk tujuan lain, seperti memuliakan, memuji, memaki, atau memihak, yang
berlaku secara umum. Maka mafhum mukhalafah. nash atau ungkapan itu tidak bisa
dijadikan hujjah.
Para ulama
Ushul Hanafiyah dalam mazhabnya menggunakan beberapa dalil yang di antaranya
ada dua yang paling jelas, yaitu:
1.
Dalam uslub bahasa Arab tidak
berlaku umum bahwa memberikan ikatan hukum dengan sifat atau syarat, atau
membatasinya dengan maksimalitas atau bilangan, menunjukkan 1
ketetapan hukum ketika ditemukan ikatan itu, atau menunjukkan ketiadaan
ketetapan hukum ketika tidak ditemukan ikatan tersebut. Banyak sekali ungkapan
yang datang dengan diberi ikatan, sedangkan pendengar ragu-ragu memahami hukum
sesuatu yang tidak terdapat ikatan di dalamnya. Kemudian si pembicara ditanya
tentang hal itu dan dia tidak mengingkari pertanyaan tersebut. Jadi orang yang
berkata: "Apabila dia minta kepadamu di waktu pagi, maka penuhilah
kebutuhannya itu", dia tidak mengingkari pendengarnya jika si pendengar
berusaha memahami tentang orang yang me-minta kepadanya di waktu sore, Apabila
dalalah atas ketiadaan hukum ketika tidak ditemukan ikatan itu tidak bisa
dipastikan, maka nash syara tidak bisa menjadi hujjah atasnya, karena nash-nash
syara itu harus memerlukan ketelitian dalam menggunakannya sebagai hujjah.
Juga tidak bisa menjadi hujjah lantaran hanya melulu kemungkinan.
2.
Kebanyakan nash-nash syara yang
menunjukkan atas hukum, tetapi nash-nash itu diikat dengan qayid, (batasan),
adalah tidak berarti hukumnya lenyap ketika ikatan itu tiada. Bahkan hukum nash
itu tetap bagi peristiwa yang di dalamnya ada ataupun tidak ada ikatan. Jadi
shalat dalam bepergian itu bisa diqoshor jika orang-orang yang melakukan shalat
itu takut atau tidak takut akan gangguan (fitnah) orang-orang kafir, sekalipun
nash shalat qoshor memberikan syarat seperti ini:

Artinya: Jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. (Q S 4 n„ Nisa: 101). '

Maka
berhati-hati dalam memahami nash syara itu mengharuskan agar nash itu tidak
dijadikan hujjah untuk meniadakan hukum ketika tidak ada ikatan. Banyak
nash-nash, setelah menyebutkan hukum yang diberi ikatan, kemudian menash atas
mafhum mukhalafahnya, seperti firman Allah SWT:
مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
Artinya: ...
dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (Q.S.
4, an-Nisa: 23).
dan firman-Nya:
وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ
حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Artinya: Dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campuri- lah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
(Q.S. 2, al-Baqoroh: 222).
Ini menunjukkan
bahwa hukum tidak bisa difahami dari nash terdahulu (pertama), melainkan dari
hukum yang disebutkan oleh nash kedua.
Pengaruh
perbedaan ini tampak jelas seperti dalam firman Allah SWT, tentang memberi
harta warisan kepada anak-anak perempuan yang ditinggal mati bapaknya:

Artinya: ...dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan. (, an-Nisa: 11).
Dan sabda
Rasulullah S AW kepada sanak saudara Saad bin Ar-Rabi: , '

Artinya: Berikanlah
kepada dua anak perempuan Saad, 2/3 (dua pertiga), dan kepada istrinya 1/8
(seperdelapan), sisanya untuk kamu.

Dan perbuatan
Rasulullah SAW mengqoshor shalat di dalam bepergian ketika aman dan tidak ada
rasa takut terhadap gangguan orang-orang kafir. Maka menurut mazhab jumhur: Terdapat
kontradiksi antara mafhum mukhalafah ayat dan bunyi hadis. Sedangkan menurut
mazhab ulama Ushul Hanafiyah: Tidak ada kontradiksi
Yang dapat kami
simpulkan dari persamaan dan perbandingan antara dalil-dalil al-Quran dan
Hadis itu, yaitu bahwa nash syara itu bisa dijadikan sebagai hujjah atas mafhum
mukhalafah bagi sifat atau syarat atau maksimalitas atau bilangan. Tetapi
setelah membahas dan memusatkan perhatian secara serius dan mendalam, ternyata
ikatan yang datang pada nash itu hanyalah untuk mengkhususkan, dan dengan
kekhususannya itu berarti memelihara dari yang lainnya. Dan nash itu-tidak
datang untuk hikmah yang lain. Dan pemahaman ini tidak bertentangan dengan
bunyi nash lain.
Adapun apabila
ada qorinah bahwa ikatan itu tidak untuk mengkhususkan dan tidak untuk
memelihara dari yang lainnya, bahkan datang dengan berlaku menurut umum,
seperti:

atau semata-mata untuk memuliakan suatu hal, seperti sabda
Rasulullah SAW:

Artinya: Tidak
halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir jika
berkabung lebih dari tiga hari kecuali atas suaminya.
Atau untuk
hikmah lain apa saja yang ditunjukkan oleh redaksi nash atau hikmah pembentukan
hukum, maka nash itu tidak bisa menjadi hujjah atas mafhum mukhalafahnya.
Sikap
berhati-hati ini yang harus dipelihara di dalam riash- nash syara, juga harus
dipelihara di dalam teks undang-undang buatan (positif). Karena itu, pengadilan
yang membatalkan menetapkan pada 30 Mei 1935 M, bahwa sarana-sarana menetapkan
yang datang dalam Pasal 229 dari undang-undang sipil tidak datang untuk
meringkas, maka ia tidak bisa menjadi hujjah bahwa- selain sarana-sarana
tersebut bukan sebagai sarana untuk menetapkan. Atas dasar ini, apabila sebuah
kertas proses verbal diajukan di dalam penyelesaian persoalan dan diterima oleh
acara dalam majelis, maka hal ini sudah cukup untuk menetapkan cronologi kertas
yang diajukan dalam majelis.
C. Beberapa contoh bagi macam-macam pemahaman terhadap nash syara dan
teks undang-undang positif.
Pemahaman
dengan sifat: Firman Allah SWT:
وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ
أَهْلِهِ
Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) itu...
." (Q.S. 4, an-Nisa: 92).
Dan pasal 466
Q.M.: "Apabila seorang menjual sesuatu barang yang tertentu zatnya, yang
tidak dimiliki olehnya, maka pembeli boleh menuntut membatalkan jual-beli
itu".
Pemahaman dengan
syarat: Firman Allah SWT:

Artinya: Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya. (Q.S. 4, an-Nisa: 4).
Dan pasal 468
Q.M.: "Apabila telah ditetapkan bagi pembeli pembatalan jual beli,
padahal dia tidak mengerti bahwa sesuatu yang dijual itu tidak dimiliki oleh
penjual, maka pembeli boleh menuntut ganti, sekalipun penjual bermaksud
baik".
Pemahaman
dengan bilangan: Ketentuan hukum:

"Hak
membatalkan kontrak itu gugur jika yang punya hak itu tidak memegangi hak itu
selama masa tiga tahun". Dan pasal 76 dari undang-undang yang dibatalkan:
"Masa keanggotaan Naib (DPR) adalah lima tahun".
Pemahaman
dengan maksimalitas: Firman Allah SWT:
فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
Artinya: Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S, 2, al-
Baqoroh: 230).
Dalam banyak
undang-undang terdapat teks seperti ini: "undang- undang ini diberlakukan
sampai keluar undang-undang yang- menggantinya".
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang sangat singkat ini, mungkin dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa, memahami mukhalafah dan mafhum sangatlah
penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap pemahaman-pemahaman
nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga makalah
yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam memahami mukhalafah
dan mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
B.
Saran
Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan.
Kami tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya sendiri. Dan tim penulis menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak hal
yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk memotifasi makalah
kami selanjutnya. Dan kami tim penulis minta ma’af apabila terdapat kesalahan
kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan
kurang lebihnya minta ma’af.